Sunday, January 1, 2012

Cerita Pendek "Guru & Catur"


Jam kelima sebenarnya pelajaran kesenian menggambar, tapi aku sengaja bolos untuk bermain catur di perpustakaan. Kebetulan juga aku lagi dapat lawan yang bisa dibilang lumayan, si Theo, anak kelas 1-1. Eh, lagi tegang-tegangnya main, tiba-tiba masuklah Pak Hadi, guru kesenian.
Hey, kalian kok ngga masuk ke kelas?” tanyanya dengan tatap muka curiga kepadaku dan anak-anak lainnya yang ada di perpustakaan.
Pelajaran agama Islam,” jawab beberapa anak yang ada di sekitarku. Memang mereka adalah siswa yang beragama non Islam, dan bagi mereka itu, peraturannya boleh untuk tidak mengikuti mata pelajaran yang satu itu, entah sekalian bisa beristirahat atau sekedar memanjakan lidah dengan jajanan di kantin sekolah.
Hmmm, lalu kamu kok malah main catur? Bukannya kamu itu siswa beragama Islam kan?” kini beliau ganti bertanya padaku.
Kosong, Pak, gurunya lagi ngga hadir,” jawabku sekenanya tapi kalem, untungnya beliau tidak bertanya lebih lanjut lagi.
Pak Hadi hanya mengangguk-anggukkan kepalanya. Tentu saja beliau tidak mengenal satu-persatu siswa-siswi SMU ini. Kami mengenal beliau sebagai seorang guru kesenian yang cukup nyentrik dan doyan catur.
Kini beliau malah mengalihkan perhatiannya dan tampak serius mengamati papan catur dimana kubu Theo dan aku sedang melangsungkan peperangan. Bibirnya tampak komat-kamit layaknya membaca doa atau mantera yang sepertinya sedang menganalisa posisi peperangan kami. Tak dinyana, beliau menyodok bahuku dan memberi perintah.
Minggir, kamu! Tampangmu ngga becus main catur, biar aku saja yang melanjutkan permainanmu, pasti menang!” komandonya kepadaku.
Owh, silakan, Pak... silakan saja!” jawabku ramah meski dalam hatiku gondoknya setengah mokat.
Pak Hadi segera melakukan manuver di atas papan catur sambil duduk di kursi yang baru saja aku kosongkan.
Eh, juara catur SMU kita siapa sekarang ini?” beliau bertanya sambil tetap konsentrasi pada peperangannya.
Muzaki, Pak.” jawabku.
Dari kelas mana?” lanjutnya bertanya.
Kelas Satu-Tiga itu lho, Pak.”
Apa yang anak Majelis Taklim itu ya? Denger-denger sih begitu.”
Bukan, Pak. Yang anak MT sih, si Yusuf. Tapi Muzaki masih lebih jago,” sahutku.
Lalu, apa bukannya yang anak baru di kelas Satu-Lima?” tanyanya lagi.
Owh, itu sih Jimmy, dia emang jago, tapi masih bukan tandingannya Muzaki, Pak,” jawabku sementara anak lainnya hanya tersenyum mendengarnya. “Bahkan, pada kejuaraan tempo hari yang antar SMU, Muzaki yang menggondol trofi untuk SMU kita ini. Masak sih, Bapak belum tahu orangnya?” tambahku sambil antusias dan balik bertanya.
Hebat ya, kok saya bisa melewatkan berita itu,” komentarnya setengah cuek. “Yang mana sih, anaknya si Muzaki itu?” tanyanya kali ini dengan nada agak penasaran sambil matanya tetap menatap tajam ke arah papan bermotif kotak hitam-putih itu.
Biasanya sih, kalo dia pas lagi iseng main catur, duduknya di kursi ini,” jawabku memberi penjelasan sambil menepuk sandaran kursi yang aku kosongkan.
Pertempuran diantara bidak-bidak yang kuperhatikan makin sengit, dan kulihat Pak Hadi hendak melangkahkan salah satu kudanya.
Tiga langkah lagi raja punya Bapak akan ka-o. Skak mat tuh, Pak,” kataku memperingatkan.
Ah, tahu apa kamu!” cibirnya kepadaku.
Ternyata tiga langkah kemudian peringatanku terbukti benar. Tetapi beliau belum mau menerimanya.
Tunggu dulu, langkah kuda tadi saya ulang dulu!” Terpaksa posisi dikembalikan seperti tiga langkah sebelumnya. Beliau memang cukup dikenal seringkali mentul menurut orang-orang yang sering bertanding dengannya. Lalu beliau mengembalikan kudanya, dan menyodorkan benteng.
Kalo Bapak begitu, menteri Bapak bakal dimakan,” aku yang tak becus catur memperingatkannya lagi.
Halahhh... tau apa sih kamu!” sahutnya tampak kesal dengan peringatanku.
Ster!” Theo menyerang Pak Hadi dan aku hanya tersenyum.
Pak Hadi terkejut, namun beliau kembali mentul. Posisi bidak dikembalikan lagi sebelum benteng melangkah. Theo dan yang lainnya termasuk aku hanya senyum-senyum saja, karena kami juga sudah maklum kalau beliau itu tidak mau mengakui kekalahannya. Meski demikian, semua murid SMU ini khususnya siswanya benar-benar hormat dan segan kepada beliau.
Sebab bukannya beliau seorang killer alias guru yang galak, tetapi karena beliau memiliki seorang anak gadis yang ehem-ehem begitu.
Heh, iya ya, kedudukan gawat juga nih. Lalu langkah apa nih yang terbaik?” beliau mulai mengakui kebingungannya dan meminta saran.
Kuda saja maju satu kali, Bapak bisa menguasai situasi,” saranku dengan santun.
Wah, kamu bisa mikir cemerlang ya!” sambutnya tersenyum.
Ah, just coincident saja kok, Pak,” jawabku merendah.
Lalu pertempuranpun berakhir sambil beliau lalu bergegas keluar ruangan, dan bel istirahat pun berdentang sambil akupun melangkahkan kaki menuju kantin.
Selesai istirahat, akupun masuk ke kelasku, sementara jadwalnya masih tetap, kesenian menggambar. Lalu tampak Pak Hadi masuk ke kelasku sambil membawa buku daftar nilainya.
Anak-anak, pekerjaan kalian cepat kumpulkan! Karena semua nilai harus sudah masuk hari ini juga, sebab sudah dekat dengan ujian nasional!” beliau menginstruksikan kepada seisi kelas.
Beberapa saat kening beliau tampak berkerut tajam mengamati daftar nilai.
Eh, sebentar, ada yang belum mengumpulkan tugas gambar hari ini. Mana yang namanya Muzaki? Maju ke depan!” perintahnya.
Saya Muzaki, Pak,” sambil cuek aku menghampiri beliau walaupun kawan-kawanku menatap dengan penuh keheranan.
Nah lho! Kamu kan yang tadi..?!” Pak Hadi kaget.
Iya, kebetulan Muzaki itu nama saya, Pak,” jawabku tenang.
Beliau lalu berbisik agar tidak terdengar oleh kawan-kawanku di kelas.
Hmmm, bisa kamu selesaikan nanti sebelum saya pulang, kan? Saya akan tunggu tugas menggambar kamu. Jam tiga sore ya harus sudah selesai!” instruksinya kepadaku. “Ya sudah, sana kamu duduk lagi!” lanjutnya.
Nanti dulu, Pak... anu...” akupun setengah berbisik kepadanya.
Apa lagi? Pengen saya berubah pikiran?” beliau menegaskan.
Bukan begitu, Pak. Boleh saya main ke rumah Bapak?” tanyaku dengan penuh harap dijawab positif oleh beliau.
Tanding catur? Boleh, boleh sekali! Baguslah begitu!” jawabnya dengan girang.
Owh... itu kalo saya mainnya bukan malam minggu, Pak. Kalo malam minggu, saya ingin menemani putri Bapak, ya sekedar ngobrol-ngobrol atau jalan-jalan gitu, Pak,” jelasku padanya.
Hah?! Owh, begitu ya? Tapi... ya, sudah, bolehlah!” kabulnya agak terkejut.
Lalu bagai panglima di medan laga yang menang perang, aku kembali ke bangkuku sambil bergumam, “Alright!”

Labels: ,

Cerita Pendek "Diana"

Ini adalah hari ketigaku mengikuti orientasi di SMU kota tercintaku, tanah tumpah darahku. Orientasi hari ini benar-benar bikin aku super gondok. Ya, maklumlah, bagaimana ngga gondok, perploncoan yang dilakukan oleh senior-seniorku tentu saja umumnya sudah mengerti bagaimana rasanya, sepertihalnya di semua lembaga pendidikan wajib belajar di negeri ini.
Tapi syukurlah, akhirnya selesai juga acara bersih-bersih kelas sore ini. Gara-gara aku lupa membawa kartu peserta orientasiku, walhasil beginilah yang kudapat. Ah tapi, tidak mengapa, itung-itung lebih mengenal lagi suasana di sekolah baruku ini saat sore hari begini. Kulirik arlojiku, “Ah, hampir maghrib nih, sial!” Tak terasa kutatap terangnya siang makin meredup.
Mana semua udah pada pulang lagi!” gerutuku lagi dalam hati sambil melihat masih ada beberapa anggota Dewan Senior yang tampak berlalu melewati pintu gerbang sekolah.
Wah, sepi bener ya. Tapi, eh, siapa itu?” tanyaku penasaran dalam hati saat kulihat ada seorang cewek manis tampak berdiri sendirian di depan sebuah kelas, ya depan pintu kelas satu-delapan. Lalu aku langsung menghampirinya.
Hai, kok belum pulang sih?” tanyaku sambil menghampirinya lebih dekat.
Cewek itu hanya menggelengkan kepalanya saja sambil tersenyum.
Manis juga, beneran nih cewek manis,” gumamku terkagum-kagum. Aku lalu mengulurkan tangan untuk mengajaknya berkenalan.
Kenalan, donk? Namaku Johan. Kamu siapa?” aku memulai perkenalan itu.
Aku, Diana,” jawabnya ramah sambil menerima jabat tanganku.
Kamu mau pulang? Bareng, yuk?!” ajakku.
Ngga ah, makasih. Kamu duluan aja, deh,” dia menolak ajakanku lembut.
Lalu akupun pulang sendiri sambil teringat terus perkenalan tadi, dan terbersit langsung keinginan dibenakku untuk dapat bertemu dengannya lagi keesokan harinya.

Ah, aku akan mencarinya lagi hari ini, kali aja bisa berlanjut ceritanya,” pikirku merencanakan eksyen yang bisa kulakukan di hari keempat orientasi ini. “Tapi, kenapa aku jadi penasaran gini ya? Jangan-jangan ini namanya love at the first sight?” aku kebingungan dan tak percaya dengan yang kurasakan sendiri.
Hari ini hampir saja, aku terkena sanksi lagi dari Dewan Senior karena aku benar-benar sulit untuk konsen pada materi yang diberikan oleh salah satu dari mereka pada jam orientasi ini. Ya, rasanya karena rasa penasaranku terhadap cewek yang kutemui kemarin sore, Diana.
Dan bel istirahatpun berdentang. Aku bergegas saja keluar kelas dan menuju ruangan kelas satu-delapan untuk mencari dan menemui Diana. Tapi, aku tak menemukannya, untuk menanyakannya ke anak-anak lainnya, aku jelas masih malu karena belum kenal benar, dan nama-nama mereka pun aku tahu karena tercantum di kartu peserta, bukannya karena aku sudah mengenal mereka apalagi akrab.
Waktu terus berlalu, dan tak terasa materi orientasi terakhir di siang yang larut ini segera usai. Namun aku masih belum bisa berkonsentrasi terhadap apapun, kecuali menumbangkan rasa penasaranku terhadap Diana, dengan penuh harapan bisa ketemu lagi nanti saat usai sekolah hari ini.
Bel usai materi terakhirpun berdentang, aku segera saja membereskan semua peralatan tulisku dan ikut berebut keluar melalui pintu ruangan kelasku dengan kawan-kawan yang lainnya. Dengan berdebar-debar, aku menghampiri ruang kelas satu-delapan.
Tiba-tiba aku dikagetkan oleh tepukan lembut tapi cukup berbobot di bahuku. Hampir saja aku berteriak kaget, dan tampak olehku bapak penjaga sekolah baruku ini melemparkan senyum ramah dan bersahajanya ke arahku.
Maaf, kaget ya, Dik?” tanyanya sambil tetap tersenyum.
Ah, Bapak bikin kaget aja nih! Saya kira siapa.”
Kayaknya lagi nyari sesuatu, atau seseorang disini, Dik?” tanyanya lagi penasaran.
Owh, anu Pak, iya, saya lagi nyari anak perempuan yang kayaknya siswi kelas satu-delapan itu,” jawabku sambil menunjuk ruang kelas satu-delapan itu.
Hmmm, siapa itu ya kalo Bapak boleh tau?”
Namanya sih, Diana,” jelasku padanya.
Kulihat bapak penjaga sekolah tampak terkejut mendengar penjelasanku, dan kerenyit di dahinya kali ini jelas bukan terbentuk oleh gurat-gurat usia senjanya, tapi oleh rasa kagetnya itu.
Apakah anaknya yang berkulit putih bersih ya? Yang di dagunya ada tahi-lalatnya?”
Iya, betul sekali, Pak!” jawabku antusias mengiyakannya.
Yang matanya agak sipit?” bapak itu bertanya makin penasaran nampaknya.
Seratus deh buat Bapak!” nadaku menjawab juga makin antusias.
Kasihan ya. Jadi, apa Adik ini pernah ketemu dengan Diana itu?”
Bener, Pak. Kemarin sore malah saya baru berkenalan dengannya sesudah orientasi.”
Sini, Dik,” ajak bapak itu seraya menggandeng lenganku menjauhi ruangan kelas satu-delapan itu.
Bagaimana ya, saya menjelaskannya,” bapak itu nampak agak kebingungan. “Yang pasti sih, sebenarnya, Diana itu sudah tiada, Dik. Sudah meninggal dunia,” jelasnya.
Haaa...hhh!” aku sangat kaget dan cukup syok mendengar penjelasan darinya. Antara percaya dan tidak, aku hanya terdiam sejenak sambil mulutku masih tetap menganga kaget. “Kapan Diana itu meninggal, Pak? Sungguhkah? Bapak ngga lagi bercanda, kan?” campur aduk perasaan dan pening menyerangku setelah mendengarnya dengan tetap masih ragu.
Tiga tahun lalu, Dik. Karena sebuah kecelakaan di kelasnya. Ia terjatuh dari kursi yang dipasangkan di atas meja untuk membersihkan langit-langit kelasnya, ya itu, kelasnya satu-delapan. Tragisnya, saat terjatuh rupanya kepalanya lah yang terlebih dahulu membentur keras di lantai. Kalau saja pertolongan waktu itu segera bisa diberikan, tapi pendarahannya memang sudah parah saat itu. Akibatnya, dia tidak tertolong, akhirnya dia pun meninggal.”
Namun sejak kejadian tragis itu, sungguh disayangkan mungkin, arwahnya belum tenang sehingga kadangkala menampakkan diri terutama di saat-saat orientasi seperti ini, dimana dia meninggal pada saat yang sama. Biasanya memang banyak yang membicarakannya, terutama mungkin senior-senior Adik ini, kalau salah satu dari mereka pun pernah punya pengalaman ditemui atau kebetulan bertemu dengannya,” lanjutnya lagi menceritakan.
Dan karena hari ini sudah menjelang maghrib, mending sebaiknya Adik ini lekas pulang saja!” sarannya padaku seraya meninggalkanku sendirian di depan koridor gedung laboratorium.
Lututku bergetar, dan kakiku terasa lemas sambil pikiran di otakku semakin tidak karuan bercampur-aduk dengan masih adanya keraguan tapi juga ketakutan menghinggapiku.
Sambil berjalan cepat, dengan bulu kudukku berdiri dengan tegangnya karena perasaan merinding, aku menyusuri koridor sekolahku dengan perasaan yang tidak menentu. Dan ketika hendak melalui pintu gerbang sekolah, seakan-akan ada suara lembut yang menyapaku dari belakang.
Hai...!” suara sapaan itu cukup kukenal yang terdengar sayup terbawa angin sore.
Seketika aku reflek menoleh, lalu akupun lari tunggang-langgang.
***

Labels: ,