Sunday, January 1, 2012

Cerita Pendek "Diana"

Ini adalah hari ketigaku mengikuti orientasi di SMU kota tercintaku, tanah tumpah darahku. Orientasi hari ini benar-benar bikin aku super gondok. Ya, maklumlah, bagaimana ngga gondok, perploncoan yang dilakukan oleh senior-seniorku tentu saja umumnya sudah mengerti bagaimana rasanya, sepertihalnya di semua lembaga pendidikan wajib belajar di negeri ini.
Tapi syukurlah, akhirnya selesai juga acara bersih-bersih kelas sore ini. Gara-gara aku lupa membawa kartu peserta orientasiku, walhasil beginilah yang kudapat. Ah tapi, tidak mengapa, itung-itung lebih mengenal lagi suasana di sekolah baruku ini saat sore hari begini. Kulirik arlojiku, “Ah, hampir maghrib nih, sial!” Tak terasa kutatap terangnya siang makin meredup.
Mana semua udah pada pulang lagi!” gerutuku lagi dalam hati sambil melihat masih ada beberapa anggota Dewan Senior yang tampak berlalu melewati pintu gerbang sekolah.
Wah, sepi bener ya. Tapi, eh, siapa itu?” tanyaku penasaran dalam hati saat kulihat ada seorang cewek manis tampak berdiri sendirian di depan sebuah kelas, ya depan pintu kelas satu-delapan. Lalu aku langsung menghampirinya.
Hai, kok belum pulang sih?” tanyaku sambil menghampirinya lebih dekat.
Cewek itu hanya menggelengkan kepalanya saja sambil tersenyum.
Manis juga, beneran nih cewek manis,” gumamku terkagum-kagum. Aku lalu mengulurkan tangan untuk mengajaknya berkenalan.
Kenalan, donk? Namaku Johan. Kamu siapa?” aku memulai perkenalan itu.
Aku, Diana,” jawabnya ramah sambil menerima jabat tanganku.
Kamu mau pulang? Bareng, yuk?!” ajakku.
Ngga ah, makasih. Kamu duluan aja, deh,” dia menolak ajakanku lembut.
Lalu akupun pulang sendiri sambil teringat terus perkenalan tadi, dan terbersit langsung keinginan dibenakku untuk dapat bertemu dengannya lagi keesokan harinya.

Ah, aku akan mencarinya lagi hari ini, kali aja bisa berlanjut ceritanya,” pikirku merencanakan eksyen yang bisa kulakukan di hari keempat orientasi ini. “Tapi, kenapa aku jadi penasaran gini ya? Jangan-jangan ini namanya love at the first sight?” aku kebingungan dan tak percaya dengan yang kurasakan sendiri.
Hari ini hampir saja, aku terkena sanksi lagi dari Dewan Senior karena aku benar-benar sulit untuk konsen pada materi yang diberikan oleh salah satu dari mereka pada jam orientasi ini. Ya, rasanya karena rasa penasaranku terhadap cewek yang kutemui kemarin sore, Diana.
Dan bel istirahatpun berdentang. Aku bergegas saja keluar kelas dan menuju ruangan kelas satu-delapan untuk mencari dan menemui Diana. Tapi, aku tak menemukannya, untuk menanyakannya ke anak-anak lainnya, aku jelas masih malu karena belum kenal benar, dan nama-nama mereka pun aku tahu karena tercantum di kartu peserta, bukannya karena aku sudah mengenal mereka apalagi akrab.
Waktu terus berlalu, dan tak terasa materi orientasi terakhir di siang yang larut ini segera usai. Namun aku masih belum bisa berkonsentrasi terhadap apapun, kecuali menumbangkan rasa penasaranku terhadap Diana, dengan penuh harapan bisa ketemu lagi nanti saat usai sekolah hari ini.
Bel usai materi terakhirpun berdentang, aku segera saja membereskan semua peralatan tulisku dan ikut berebut keluar melalui pintu ruangan kelasku dengan kawan-kawan yang lainnya. Dengan berdebar-debar, aku menghampiri ruang kelas satu-delapan.
Tiba-tiba aku dikagetkan oleh tepukan lembut tapi cukup berbobot di bahuku. Hampir saja aku berteriak kaget, dan tampak olehku bapak penjaga sekolah baruku ini melemparkan senyum ramah dan bersahajanya ke arahku.
Maaf, kaget ya, Dik?” tanyanya sambil tetap tersenyum.
Ah, Bapak bikin kaget aja nih! Saya kira siapa.”
Kayaknya lagi nyari sesuatu, atau seseorang disini, Dik?” tanyanya lagi penasaran.
Owh, anu Pak, iya, saya lagi nyari anak perempuan yang kayaknya siswi kelas satu-delapan itu,” jawabku sambil menunjuk ruang kelas satu-delapan itu.
Hmmm, siapa itu ya kalo Bapak boleh tau?”
Namanya sih, Diana,” jelasku padanya.
Kulihat bapak penjaga sekolah tampak terkejut mendengar penjelasanku, dan kerenyit di dahinya kali ini jelas bukan terbentuk oleh gurat-gurat usia senjanya, tapi oleh rasa kagetnya itu.
Apakah anaknya yang berkulit putih bersih ya? Yang di dagunya ada tahi-lalatnya?”
Iya, betul sekali, Pak!” jawabku antusias mengiyakannya.
Yang matanya agak sipit?” bapak itu bertanya makin penasaran nampaknya.
Seratus deh buat Bapak!” nadaku menjawab juga makin antusias.
Kasihan ya. Jadi, apa Adik ini pernah ketemu dengan Diana itu?”
Bener, Pak. Kemarin sore malah saya baru berkenalan dengannya sesudah orientasi.”
Sini, Dik,” ajak bapak itu seraya menggandeng lenganku menjauhi ruangan kelas satu-delapan itu.
Bagaimana ya, saya menjelaskannya,” bapak itu nampak agak kebingungan. “Yang pasti sih, sebenarnya, Diana itu sudah tiada, Dik. Sudah meninggal dunia,” jelasnya.
Haaa...hhh!” aku sangat kaget dan cukup syok mendengar penjelasan darinya. Antara percaya dan tidak, aku hanya terdiam sejenak sambil mulutku masih tetap menganga kaget. “Kapan Diana itu meninggal, Pak? Sungguhkah? Bapak ngga lagi bercanda, kan?” campur aduk perasaan dan pening menyerangku setelah mendengarnya dengan tetap masih ragu.
Tiga tahun lalu, Dik. Karena sebuah kecelakaan di kelasnya. Ia terjatuh dari kursi yang dipasangkan di atas meja untuk membersihkan langit-langit kelasnya, ya itu, kelasnya satu-delapan. Tragisnya, saat terjatuh rupanya kepalanya lah yang terlebih dahulu membentur keras di lantai. Kalau saja pertolongan waktu itu segera bisa diberikan, tapi pendarahannya memang sudah parah saat itu. Akibatnya, dia tidak tertolong, akhirnya dia pun meninggal.”
Namun sejak kejadian tragis itu, sungguh disayangkan mungkin, arwahnya belum tenang sehingga kadangkala menampakkan diri terutama di saat-saat orientasi seperti ini, dimana dia meninggal pada saat yang sama. Biasanya memang banyak yang membicarakannya, terutama mungkin senior-senior Adik ini, kalau salah satu dari mereka pun pernah punya pengalaman ditemui atau kebetulan bertemu dengannya,” lanjutnya lagi menceritakan.
Dan karena hari ini sudah menjelang maghrib, mending sebaiknya Adik ini lekas pulang saja!” sarannya padaku seraya meninggalkanku sendirian di depan koridor gedung laboratorium.
Lututku bergetar, dan kakiku terasa lemas sambil pikiran di otakku semakin tidak karuan bercampur-aduk dengan masih adanya keraguan tapi juga ketakutan menghinggapiku.
Sambil berjalan cepat, dengan bulu kudukku berdiri dengan tegangnya karena perasaan merinding, aku menyusuri koridor sekolahku dengan perasaan yang tidak menentu. Dan ketika hendak melalui pintu gerbang sekolah, seakan-akan ada suara lembut yang menyapaku dari belakang.
Hai...!” suara sapaan itu cukup kukenal yang terdengar sayup terbawa angin sore.
Seketika aku reflek menoleh, lalu akupun lari tunggang-langgang.
***

Labels: ,

0 Comments:

Post a Comment

Subscribe to Post Comments [Atom]

<< Home