Cerita Pendek "Diana"
Ini adalah hari ketigaku mengikuti orientasi di SMU kota
tercintaku, tanah tumpah darahku. Orientasi hari ini benar-benar
bikin aku super gondok. Ya, maklumlah, bagaimana ngga gondok,
perploncoan yang dilakukan oleh senior-seniorku tentu saja umumnya
sudah mengerti bagaimana rasanya, sepertihalnya di semua lembaga
pendidikan wajib belajar di negeri ini.
Tapi syukurlah, akhirnya selesai juga acara
bersih-bersih kelas sore ini. Gara-gara aku lupa membawa kartu
peserta orientasiku, walhasil beginilah yang kudapat. Ah tapi, tidak
mengapa, itung-itung lebih mengenal lagi suasana di sekolah baruku
ini saat sore hari begini. Kulirik arlojiku, “Ah, hampir maghrib
nih, sial!” Tak terasa kutatap terangnya siang makin meredup.
“Mana semua udah pada pulang lagi!” gerutuku lagi
dalam hati sambil melihat masih ada beberapa anggota Dewan Senior
yang tampak berlalu melewati pintu gerbang sekolah.
“Wah, sepi bener ya. Tapi, eh, siapa itu?” tanyaku
penasaran dalam hati saat kulihat ada seorang cewek manis tampak
berdiri sendirian di depan sebuah kelas, ya depan pintu kelas
satu-delapan. Lalu aku langsung menghampirinya.
“Hai, kok belum pulang sih?” tanyaku sambil
menghampirinya lebih dekat.
Cewek itu hanya menggelengkan kepalanya saja sambil
tersenyum.
“Manis juga, beneran nih cewek manis,” gumamku
terkagum-kagum. Aku lalu mengulurkan tangan untuk mengajaknya
berkenalan.
“Kenalan, donk? Namaku Johan. Kamu siapa?” aku
memulai perkenalan itu.
“Aku, Diana,” jawabnya ramah sambil menerima jabat
tanganku.
“Kamu mau pulang? Bareng, yuk?!” ajakku.
“Ngga ah, makasih. Kamu duluan aja, deh,” dia
menolak ajakanku lembut.
Lalu akupun pulang sendiri sambil teringat terus
perkenalan tadi, dan terbersit langsung keinginan dibenakku untuk
dapat bertemu dengannya lagi keesokan harinya.
“Ah, aku akan mencarinya lagi hari ini, kali aja bisa
berlanjut ceritanya,” pikirku merencanakan eksyen yang bisa
kulakukan di hari keempat orientasi ini. “Tapi, kenapa aku jadi
penasaran gini ya? Jangan-jangan ini namanya love at the first
sight?” aku kebingungan dan tak percaya dengan yang kurasakan
sendiri.
Hari ini hampir saja, aku terkena sanksi lagi dari Dewan
Senior karena aku benar-benar sulit untuk konsen pada materi yang
diberikan oleh salah satu dari mereka pada jam orientasi ini. Ya,
rasanya karena rasa penasaranku terhadap cewek yang kutemui kemarin
sore, Diana.
Dan bel istirahatpun berdentang. Aku bergegas saja
keluar kelas dan menuju ruangan kelas satu-delapan untuk mencari dan
menemui Diana. Tapi, aku tak menemukannya, untuk menanyakannya ke
anak-anak lainnya, aku jelas masih malu karena belum kenal benar, dan
nama-nama mereka pun aku tahu karena tercantum di kartu peserta,
bukannya karena aku sudah mengenal mereka apalagi akrab.
Waktu terus berlalu, dan tak terasa materi orientasi
terakhir di siang yang larut ini segera usai. Namun aku masih belum
bisa berkonsentrasi terhadap apapun, kecuali menumbangkan rasa
penasaranku terhadap Diana, dengan penuh harapan bisa ketemu lagi
nanti saat usai sekolah hari ini.
Bel usai materi terakhirpun berdentang, aku segera saja
membereskan semua peralatan tulisku dan ikut berebut keluar melalui
pintu ruangan kelasku dengan kawan-kawan yang lainnya. Dengan
berdebar-debar, aku menghampiri ruang kelas satu-delapan.
Tiba-tiba aku dikagetkan oleh tepukan lembut tapi cukup
berbobot di bahuku. Hampir saja aku berteriak kaget, dan tampak
olehku bapak penjaga sekolah baruku ini melemparkan senyum ramah dan
bersahajanya ke arahku.
“Maaf, kaget ya, Dik?” tanyanya sambil tetap
tersenyum.
“Ah, Bapak bikin kaget aja nih! Saya kira siapa.”
“Kayaknya lagi nyari sesuatu, atau seseorang disini,
Dik?” tanyanya lagi penasaran.
“Owh, anu Pak, iya, saya lagi nyari anak perempuan
yang kayaknya siswi kelas satu-delapan itu,” jawabku sambil
menunjuk ruang kelas satu-delapan itu.
“Hmmm, siapa itu ya kalo Bapak boleh tau?”
“Namanya sih, Diana,” jelasku padanya.
Kulihat bapak penjaga sekolah tampak terkejut mendengar
penjelasanku, dan kerenyit di dahinya kali ini jelas bukan terbentuk
oleh gurat-gurat usia senjanya, tapi oleh rasa kagetnya itu.
“Apakah anaknya yang berkulit putih bersih ya? Yang di
dagunya ada tahi-lalatnya?”
“Iya, betul sekali, Pak!” jawabku antusias
mengiyakannya.
“Yang matanya agak sipit?” bapak itu bertanya makin
penasaran nampaknya.
“Seratus deh buat Bapak!” nadaku menjawab juga makin
antusias.
“Kasihan ya. Jadi, apa Adik ini pernah ketemu dengan
Diana itu?”
“Bener, Pak. Kemarin sore malah saya baru berkenalan
dengannya sesudah orientasi.”
“Sini, Dik,” ajak bapak itu seraya menggandeng
lenganku menjauhi ruangan kelas satu-delapan itu.
“Bagaimana ya, saya menjelaskannya,” bapak itu
nampak agak kebingungan. “Yang pasti sih, sebenarnya, Diana itu
sudah tiada, Dik. Sudah meninggal dunia,” jelasnya.
“Haaa...hhh!” aku sangat kaget dan cukup syok
mendengar penjelasan darinya. Antara percaya dan tidak, aku hanya
terdiam sejenak sambil mulutku masih tetap menganga kaget. “Kapan
Diana itu meninggal, Pak? Sungguhkah? Bapak ngga lagi bercanda, kan?”
campur aduk perasaan dan pening menyerangku setelah mendengarnya
dengan tetap masih ragu.
“Tiga tahun lalu, Dik. Karena sebuah kecelakaan di
kelasnya. Ia terjatuh dari kursi yang dipasangkan di atas meja untuk
membersihkan langit-langit kelasnya, ya itu, kelasnya satu-delapan.
Tragisnya, saat terjatuh rupanya kepalanya lah yang terlebih dahulu
membentur keras di lantai. Kalau saja pertolongan waktu itu segera
bisa diberikan, tapi pendarahannya memang sudah parah saat itu.
Akibatnya, dia tidak tertolong, akhirnya dia pun meninggal.”
“Namun sejak kejadian tragis itu, sungguh disayangkan
mungkin, arwahnya belum tenang sehingga kadangkala menampakkan diri
terutama di saat-saat orientasi seperti ini, dimana dia meninggal
pada saat yang sama. Biasanya memang banyak yang membicarakannya,
terutama mungkin senior-senior Adik ini, kalau salah satu dari mereka
pun pernah punya pengalaman ditemui atau kebetulan bertemu
dengannya,” lanjutnya lagi menceritakan.
“Dan karena hari ini sudah menjelang maghrib, mending
sebaiknya Adik ini lekas pulang saja!” sarannya padaku seraya
meninggalkanku sendirian di depan koridor gedung laboratorium.
Lututku bergetar, dan kakiku terasa lemas sambil pikiran
di otakku semakin tidak karuan bercampur-aduk dengan masih adanya
keraguan tapi juga ketakutan menghinggapiku.
Sambil berjalan cepat, dengan bulu kudukku berdiri
dengan tegangnya karena perasaan merinding, aku menyusuri koridor
sekolahku dengan perasaan yang tidak menentu. Dan ketika hendak
melalui pintu gerbang sekolah, seakan-akan ada suara lembut yang
menyapaku dari belakang.
“Hai...!” suara sapaan itu cukup kukenal yang
terdengar sayup terbawa angin sore.
Seketika aku reflek menoleh, lalu akupun lari
tunggang-langgang.
***
0 Comments:
Post a Comment
Subscribe to Post Comments [Atom]
<< Home