Cerita Pendek "Guru & Catur"
Jam kelima sebenarnya pelajaran kesenian
menggambar, tapi aku sengaja bolos untuk bermain catur di
perpustakaan. Kebetulan juga aku lagi dapat lawan yang bisa dibilang
lumayan, si Theo, anak kelas 1-1. Eh, lagi tegang-tegangnya main,
tiba-tiba masuklah Pak Hadi, guru kesenian.
“Hey, kalian kok ngga masuk ke kelas?”
tanyanya dengan tatap muka curiga kepadaku dan anak-anak lainnya yang
ada di perpustakaan.
“Pelajaran agama Islam,” jawab beberapa anak
yang ada di sekitarku. Memang mereka adalah siswa yang beragama non
Islam, dan bagi mereka itu, peraturannya boleh untuk tidak mengikuti
mata pelajaran yang satu itu, entah sekalian bisa beristirahat atau
sekedar memanjakan lidah dengan jajanan di kantin sekolah.
“Hmmm, lalu kamu kok malah main catur? Bukannya
kamu itu siswa beragama Islam kan?” kini beliau ganti bertanya
padaku.
“Kosong, Pak, gurunya lagi ngga hadir,”
jawabku sekenanya tapi kalem, untungnya beliau tidak bertanya lebih
lanjut lagi.
Pak Hadi hanya mengangguk-anggukkan kepalanya.
Tentu saja beliau tidak mengenal satu-persatu siswa-siswi SMU ini.
Kami mengenal beliau sebagai seorang guru kesenian yang cukup
nyentrik dan doyan catur.
Kini beliau malah mengalihkan perhatiannya dan
tampak serius mengamati papan catur dimana kubu Theo dan aku sedang
melangsungkan peperangan. Bibirnya tampak komat-kamit layaknya
membaca doa atau mantera yang sepertinya sedang menganalisa posisi
peperangan kami. Tak dinyana, beliau menyodok bahuku dan memberi
perintah.
“Minggir, kamu! Tampangmu ngga becus main
catur, biar aku saja yang melanjutkan permainanmu, pasti menang!”
komandonya kepadaku.
“Owh, silakan, Pak... silakan saja!” jawabku
ramah meski dalam hatiku gondoknya setengah mokat.
Pak Hadi segera melakukan manuver di atas papan
catur sambil duduk di kursi yang baru saja aku kosongkan.
“Eh, juara catur SMU kita siapa sekarang ini?”
beliau bertanya sambil tetap konsentrasi pada peperangannya.
“Muzaki, Pak.” jawabku.
“Dari kelas mana?” lanjutnya bertanya.
“Kelas Satu-Tiga itu lho, Pak.”
“Apa yang anak Majelis Taklim itu ya?
Denger-denger sih begitu.”
“Bukan, Pak. Yang anak MT sih, si Yusuf. Tapi
Muzaki masih lebih jago,” sahutku.
“Lalu, apa bukannya yang anak baru di kelas
Satu-Lima?” tanyanya lagi.
“Owh, itu sih Jimmy, dia emang jago, tapi masih
bukan tandingannya Muzaki, Pak,” jawabku sementara anak lainnya
hanya tersenyum mendengarnya. “Bahkan, pada kejuaraan tempo hari
yang antar SMU, Muzaki yang menggondol trofi untuk SMU kita ini.
Masak sih, Bapak belum tahu orangnya?” tambahku sambil antusias dan
balik bertanya.
“Hebat ya, kok saya bisa melewatkan berita
itu,” komentarnya setengah cuek. “Yang mana sih, anaknya si
Muzaki itu?” tanyanya kali ini dengan nada agak penasaran sambil
matanya tetap menatap tajam ke arah papan bermotif kotak hitam-putih
itu.
“Biasanya sih, kalo dia pas lagi iseng main
catur, duduknya di kursi ini,” jawabku memberi penjelasan sambil
menepuk sandaran kursi yang aku kosongkan.
Pertempuran diantara bidak-bidak yang
kuperhatikan makin sengit, dan kulihat Pak Hadi hendak melangkahkan
salah satu kudanya.
“Tiga langkah lagi raja punya Bapak akan ka-o.
Skak mat tuh, Pak,” kataku memperingatkan.
“Ah, tahu apa kamu!” cibirnya kepadaku.
Ternyata tiga langkah kemudian peringatanku
terbukti benar. Tetapi beliau belum mau menerimanya.
“Tunggu dulu, langkah kuda tadi saya ulang
dulu!” Terpaksa posisi dikembalikan seperti tiga langkah
sebelumnya. Beliau memang cukup dikenal seringkali mentul menurut
orang-orang yang sering bertanding dengannya. Lalu beliau
mengembalikan kudanya, dan menyodorkan benteng.
“Kalo Bapak begitu, menteri Bapak bakal
dimakan,” aku yang tak becus catur memperingatkannya lagi.
“Halahhh... tau apa sih kamu!” sahutnya
tampak kesal dengan peringatanku.
“Ster!” Theo menyerang Pak Hadi dan aku hanya
tersenyum.
Pak Hadi terkejut, namun beliau kembali mentul.
Posisi bidak dikembalikan lagi sebelum benteng melangkah. Theo dan
yang lainnya termasuk aku hanya senyum-senyum saja, karena kami juga
sudah maklum kalau beliau itu tidak mau mengakui kekalahannya. Meski
demikian, semua murid SMU ini khususnya siswanya benar-benar hormat
dan segan kepada beliau.
Sebab bukannya beliau seorang killer alias guru
yang galak, tetapi karena beliau memiliki seorang anak gadis yang
ehem-ehem begitu.
“Heh, iya ya, kedudukan gawat juga nih. Lalu
langkah apa nih yang terbaik?” beliau mulai mengakui kebingungannya
dan meminta saran.
“Kuda saja maju satu kali, Bapak bisa menguasai
situasi,” saranku dengan santun.
“Wah, kamu bisa mikir cemerlang ya!”
sambutnya tersenyum.
“Ah, just coincident saja kok, Pak,”
jawabku merendah.
Lalu pertempuranpun berakhir sambil beliau lalu
bergegas keluar ruangan, dan bel istirahat pun berdentang sambil
akupun melangkahkan kaki menuju kantin.
Selesai istirahat, akupun masuk ke kelasku,
sementara jadwalnya masih tetap, kesenian menggambar. Lalu tampak Pak
Hadi masuk ke kelasku sambil membawa buku daftar nilainya.
“Anak-anak, pekerjaan kalian cepat kumpulkan!
Karena semua nilai harus sudah masuk hari ini juga, sebab sudah dekat
dengan ujian nasional!” beliau menginstruksikan kepada seisi kelas.
Beberapa saat kening beliau tampak berkerut tajam
mengamati daftar nilai.
“Eh, sebentar, ada yang belum mengumpulkan
tugas gambar hari ini. Mana yang namanya Muzaki? Maju ke depan!”
perintahnya.
“Saya Muzaki, Pak,” sambil cuek aku
menghampiri beliau walaupun kawan-kawanku menatap dengan penuh
keheranan.
“Nah lho! Kamu kan yang tadi..?!” Pak Hadi
kaget.
“Iya, kebetulan Muzaki itu nama saya, Pak,”
jawabku tenang.
Beliau lalu berbisik agar tidak terdengar oleh
kawan-kawanku di kelas.
“Hmmm, bisa kamu selesaikan nanti sebelum saya
pulang, kan? Saya akan tunggu tugas menggambar kamu. Jam tiga sore ya
harus sudah selesai!” instruksinya kepadaku. “Ya sudah, sana kamu
duduk lagi!” lanjutnya.
“Nanti dulu, Pak... anu...” akupun setengah
berbisik kepadanya.
“Apa lagi? Pengen saya berubah pikiran?”
beliau menegaskan.
“Bukan begitu, Pak. Boleh saya main ke rumah
Bapak?” tanyaku dengan penuh harap dijawab positif oleh beliau.
“Tanding catur? Boleh, boleh sekali! Baguslah
begitu!” jawabnya dengan girang.
“Owh... itu kalo saya mainnya bukan malam
minggu, Pak. Kalo malam minggu, saya ingin menemani putri Bapak, ya
sekedar ngobrol-ngobrol atau jalan-jalan gitu, Pak,” jelasku
padanya.
“Hah?! Owh, begitu ya? Tapi... ya, sudah,
bolehlah!” kabulnya agak terkejut.
Lalu bagai panglima di medan laga yang menang
perang, aku kembali ke bangkuku sambil bergumam, “Alright!”
0 Comments:
Post a Comment
Subscribe to Post Comments [Atom]
<< Home